13/02/2016

Siang itu di hari Jumat

Siang itu di hari Jumat, suasana masjid kebanggaan universitas ini menenangkan sekali. Di atas kami waktu itu, ribuan, jutaan, bahkan mungkin miliaran butir air dari bumi berbondong-bondong naik kesana, dan kemudian betah. Enggan turun. Menyisakan sendu yang tumbuh seiring dengan teduh yang diberikannya siang hari itu, yang masuk melalui sisi-sisi masjid yang dibiarkan terbuka, berkumpul di tengahnya lalu meledak. Menyebar ratakan sendu itu ke seluruh isi masjid. Seperti balon berisi tepung yang pecah. Atau seperti bintang supernova yang meledak di akhir hidupnya.

Siang itu di hari Jumat, di satu sisi masjid itu, gua duduk bersila. Menatap sajadah tepat di tempatnya bersentuhan dengan dahi manusia setiap sujudnya. Menyerap semua kesenduan itu, dan kemudian berpikir merenung. Mengenai hidup, dan tujuannnya. Mengenai siapa gua, dan kemana gua mau menuju.

Siang itu di hari Jumat, gua punya appointment dengan dosen mengenai sebuah proyek yang gua dan beberapa rekan satu tim akan kerjakan selama satu semester ini. Pertemuan ini direncanakan akan mulai jam 11. Gua agak sedikit sangsi mengenai pemilihan waktu pertemuan ini, karena gua pikir pertemuan ini akan berlangsung lama, sekitar satu atau dua jam mungkin, sehingga akan terkendala sholat Jumat. Di pikiran gua saat itu, kalaupun pertemuan ini secepat-cepatnya selesai satu jam, waktunya akan mepet banget buat sholat Jumat, dan penting banget buat datang tidak mepet kalau mau sholat Jumat di masjid terdekat karena lima belas menit sebelum adzan, masjid itu bakal sudah penuh. Jadi, di pikiran gua, kalaupun secepat-cepatnya pertemuan ini selesai satu jam, kedatangan gua ke masjid itu akan terlalu mepet, sehingga gua mungkin akan harus solat di rerumputan sekitar masjid atau di jalanan sekitarnya, tanpa sajadah, yang menjadikan sah atau enggaknya solat Jumat gua menjadi sangat dipertanyakan.

Tapi ternyata gua salah perhitungan. Pertemuan yang gua kira bakal berlangsung lama, ternyata cuma berlangsung lima belas menit. Lima belas berikutnya gua habiskan untuk meeting kecil-kecilan dengan rekan-rekan tim untuk membahas langkah berikutnya. Setelah itu, semua urusan clear dan semua rekan tim gua berpencar mengurusi urusannya masing-masing. Dan gua, ya gua ga punya urusan apa-apa lagi. Jadilah gua langsung ke masjid buat sholat Jumat. Gua sampai sekitar dua puluh menit sebelum adzan, lima menit sebelum kedatangan yang terlalu mepet. Tapi bahkan ketika itu pun, masjid sudah hampir tiga per empat penuh.

Jadilah gua, siang itu di hari Jumat, dua puluh menit sebelum adzan berkumandang dan ibadah sholat Jumat dimulai, sudah duduk bersila di satu sisi masjid itu, menatap sajadah tepat di tempatnya bersentuhan dengan dahi manusia di setiap sujudnya, diam, menunggu.

Dan terkadang, di waktu diam dan menunggu seperti itu, sesuatu yang menarik di otak kita, di pikiran kita, terjadi.

Apalagi di momen diam dan menunggu siang itu, di hari Jumat yang teduh dan sendu. Kalau kata anak remaja jaman sekarang, bawaannya jadi galau. Dan kenyataannya memang itu yang terjadi. Di saat-saat kita menunggu, kita memang gak melakukan apa-apa. Pikiran kita kosong. Tapi otak kita seolah-olah tidak rela kapabilitasnya yang kata orang setara dengan jutaan komputer itu disia-siakan barang sedetik. Dia munculkan pikiran-pikiran yang terkadang benar-benar random, seolah berkata pada kita, "berpikirlah, manusia, berpikir!" Dan itulah yang terjadi di pikiran gua saat itu. Banyak sekali pikiran-pikiran random yang muncul di kepala, yang saking random-nya, sekarang pun gua ga ingat satu per satu. Yang gua ingat, cuma bahwa semua pikiran-pikiran random tersebut pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu mengenai tujuan hidup gua, sebagai manusia, sebagai seorang yang percaya, dan berkepercayaan.

Dalam kepercayaan yang gua percayai saat ini, tujuan hidup di dunia ini adalah mempersiapkan sebuah kehidupan yang abadi, yang nantinya seluruh manusia akan jalani seselesainya hidup ini. Sederhananya, tujuan hidup di dunia ini, ya adalah masuk surga. Walaupun mungkin terdengar sederhana, tapi jika dirunut lagi sampai ke akarnya, perkara masuk surga ini tidak sesederhana itu. Dalam pemahaman gua saat ini yang sedikit realistis, surga itu bagaikan sebuah standar baiknya seorang manusia sehingga jika tujuan hidup ini adalah masuk surga, maka manusia selama hidupnya harus menjadikan dirinya seorang manusia yang baik, sesuai dengan standar tersebut. Dan gua percaya hal itu gak sederhana. Standarnya banyak, dan terkadang agak sulit buat diselaraskan dengan rutinitas kehidupan modern. Jadi kalau boleh gua katakan sekali lagi, tujuan sebenarnya manusia hidup, tujuan sebenarnya gua hidup, adalah untuk memantaskan dirinya, diri gua, untuk menjadi seorang penghuni surga.

Di titik muara itu, pikiran gua kemudian melayang ke kehidupan gua selama beberapa minggu terakhir. Pikiran gua dipenuhi dengan semua rencana gua untuk meningkatkan performa gua di semester ini, demi menutup peforma gua yang jeblok di semester lalu. Jebloknya performa gua di semester lalu disebabkan karena kehidupan gua saat itu tidak bervisi. Gua datang kuliah setiap hari, mengerjakan tugas, kuis, dan ujian-ujian, ya karena memang sudah menjadi kewajiban dan obligasi gua terhadap orang tua. Parah banget memang, dan hal itu sudah berlangsung dari dua sampai tiga semester yang lalu. Kehidupan gua sekarang sudah lebih bervisi. Gua sudah tau target indeks prestasi yang harus gua capai demi menaikkan kualitas kuliah gua, dan beberapa alternatif strategi yang dapat gua gunakan untuk mencapai visi gua tersebut. Sampai sebelum siang itu, gua merasa optimis terhadap perubahan hidup gua yang kini bervisi. Sebelum akhirnya satu pikiran random itu datang, dan kemudian optimisme gua hancur bagaikan istana pasir terkena ombak. Hancur tak berbentuk.

Pikiran gua kemudian melayang ke visi gua yang lebih jauh. Tentang apa yang gua inginkan gua punyai di empat sampai lima tahun mendatang, dan semuanya materialistis. Semua berkisar di uang. Di titik ini, untuk beberapa saat, gua merasa rendah. Gua merasa visi gua itu hina sekali dibandingkan tujuan hidup kita sebagai manusia. Tapi, itu cuma berlaku beberapa saat. Karena setelah gua pikir lagi, ga ada salahnya loh punya keinginan. Dan ga ada salahnya hidup hari ini demi mengejar keinginan itu, selama caranya benar. Dan gua rasa, mungkin yang selama ini jadi salah adalah karena gua terlalu sibuk mengejar keinginan-keinginan gua itu, sampai lupa tujuan sebenarnya gua hidup. Di situlah gua sadar bahwa ga ada yang salah dengan visi-visi gua itu, baik yang dekat maupun yang jauh. Yang salah adalah tidak adanya aspek ke-Tuhanan di dalamnya. Bahwa kita hidup sehari-hari bukan hanya untuk mencapai apapun yang kita inginkan di masa depan hidup kita, tapi juga untuk mencari ridho-Nya. Untuk menjadi manusia baik, dan berbuat baik,

Siang itu di hari Jumat, gua belajar untuk mengingat kembali tujuan hidup gua, bahwa akan masih ada dua kehidupan yang akan gua lewati, yang satu sama lainnya berjalan dalam satu jalan dan menuju ke arah yang sama.