09/10/2017

Lately I have been running with a very blurry destination in mind.
Lately I have been running from a fear of being dependent.
I managed to keep running so far,
but one of these time I'm going to need destination more concrete than this little blurry light in the distance to keep me running.
So what should it be?
Survival?
Being independent?
Love?
Love.
Yeah, love.
Maybe.

29/09/2017

Small and silly happiness

Many years have passed by since I used to pour my heart out in writing. A lot have changed while just as many stayed the same. For all these time I didn't write, I lost track of myself. I changed, I know that much, but what changed, what not, and whatever happened that changed them, I can't remember.

However, I can say with absolute certainty that this part of me didn't change: I love cloudy day, and I love rain.

Just a few days ago I realized this. I was commuting to work on this beautiful cloudy day. Everything looked beautiful. The wild green plants between the railways with bugs and butterflies flying around them, abandoned woods left by some unfinished railway projects, the atmosphere, the wind, the air. All these things remind me of the very thing I used to love and have forgotten these past few years.

To be completely honest, all these years I've been ignoring all these little special things I used to love. I was busy worrying about a lot of things; organization I was supposed to lead, tests I was expected to excel at, university I was expected to go to, classes, home works, more tests and exams, fitting in with other people, working out, trying to look good. Then I realized how I used to care less about those stuffs. What used to matter is whether it was cloudy today, or that it was raining softly in the morning. I used to love walking and running in the rain on my way back home. But lately, if it was pouring on my way home, I would worry about my clothes, about looking silly and ugly.

Having realized this, though, my love for rain and cloudy day came rushing back, filling my heart with this small and silly happiness. There I was, just tonight, soaking wet after riding motorcycle from work to the station through the rain and still smiling like crazy. Also there I was, morning few days ago, choosing not to drive to work although it was pouring outside. All of that because of that warm feeling in my chest, that feels so beautiful it brings tears to my eyes. You can say I'm being too sentimental about this but hey that's me. I love being gloomy and sentimental like that. That makes me happy. I know it sounds like I'm contradicting myself, being gloomy and happy at the same time. Well, actually I'm not. It's the gloomy atmosphere that moves me, not being sad. It's like those scenes in a movie where the protagonist goes through something sad and he/she walks alone on a wet pavement at night, or stare outside the window at the pouring rain while those beautiful ballad song is playing on the background. Those moments, their atmosphere, is amazingly beautiful.

Well, that's that. I just poured my heart out. You know me better now, and even I know me better now. So that's probably the beauty of writing and reading. It makes you understand whatever it is more. 

13/02/2016

Siang itu di hari Jumat

Siang itu di hari Jumat, suasana masjid kebanggaan universitas ini menenangkan sekali. Di atas kami waktu itu, ribuan, jutaan, bahkan mungkin miliaran butir air dari bumi berbondong-bondong naik kesana, dan kemudian betah. Enggan turun. Menyisakan sendu yang tumbuh seiring dengan teduh yang diberikannya siang hari itu, yang masuk melalui sisi-sisi masjid yang dibiarkan terbuka, berkumpul di tengahnya lalu meledak. Menyebar ratakan sendu itu ke seluruh isi masjid. Seperti balon berisi tepung yang pecah. Atau seperti bintang supernova yang meledak di akhir hidupnya.

Siang itu di hari Jumat, di satu sisi masjid itu, gua duduk bersila. Menatap sajadah tepat di tempatnya bersentuhan dengan dahi manusia setiap sujudnya. Menyerap semua kesenduan itu, dan kemudian berpikir merenung. Mengenai hidup, dan tujuannnya. Mengenai siapa gua, dan kemana gua mau menuju.

Siang itu di hari Jumat, gua punya appointment dengan dosen mengenai sebuah proyek yang gua dan beberapa rekan satu tim akan kerjakan selama satu semester ini. Pertemuan ini direncanakan akan mulai jam 11. Gua agak sedikit sangsi mengenai pemilihan waktu pertemuan ini, karena gua pikir pertemuan ini akan berlangsung lama, sekitar satu atau dua jam mungkin, sehingga akan terkendala sholat Jumat. Di pikiran gua saat itu, kalaupun pertemuan ini secepat-cepatnya selesai satu jam, waktunya akan mepet banget buat sholat Jumat, dan penting banget buat datang tidak mepet kalau mau sholat Jumat di masjid terdekat karena lima belas menit sebelum adzan, masjid itu bakal sudah penuh. Jadi, di pikiran gua, kalaupun secepat-cepatnya pertemuan ini selesai satu jam, kedatangan gua ke masjid itu akan terlalu mepet, sehingga gua mungkin akan harus solat di rerumputan sekitar masjid atau di jalanan sekitarnya, tanpa sajadah, yang menjadikan sah atau enggaknya solat Jumat gua menjadi sangat dipertanyakan.

Tapi ternyata gua salah perhitungan. Pertemuan yang gua kira bakal berlangsung lama, ternyata cuma berlangsung lima belas menit. Lima belas berikutnya gua habiskan untuk meeting kecil-kecilan dengan rekan-rekan tim untuk membahas langkah berikutnya. Setelah itu, semua urusan clear dan semua rekan tim gua berpencar mengurusi urusannya masing-masing. Dan gua, ya gua ga punya urusan apa-apa lagi. Jadilah gua langsung ke masjid buat sholat Jumat. Gua sampai sekitar dua puluh menit sebelum adzan, lima menit sebelum kedatangan yang terlalu mepet. Tapi bahkan ketika itu pun, masjid sudah hampir tiga per empat penuh.

Jadilah gua, siang itu di hari Jumat, dua puluh menit sebelum adzan berkumandang dan ibadah sholat Jumat dimulai, sudah duduk bersila di satu sisi masjid itu, menatap sajadah tepat di tempatnya bersentuhan dengan dahi manusia di setiap sujudnya, diam, menunggu.

Dan terkadang, di waktu diam dan menunggu seperti itu, sesuatu yang menarik di otak kita, di pikiran kita, terjadi.

Apalagi di momen diam dan menunggu siang itu, di hari Jumat yang teduh dan sendu. Kalau kata anak remaja jaman sekarang, bawaannya jadi galau. Dan kenyataannya memang itu yang terjadi. Di saat-saat kita menunggu, kita memang gak melakukan apa-apa. Pikiran kita kosong. Tapi otak kita seolah-olah tidak rela kapabilitasnya yang kata orang setara dengan jutaan komputer itu disia-siakan barang sedetik. Dia munculkan pikiran-pikiran yang terkadang benar-benar random, seolah berkata pada kita, "berpikirlah, manusia, berpikir!" Dan itulah yang terjadi di pikiran gua saat itu. Banyak sekali pikiran-pikiran random yang muncul di kepala, yang saking random-nya, sekarang pun gua ga ingat satu per satu. Yang gua ingat, cuma bahwa semua pikiran-pikiran random tersebut pada akhirnya bermuara pada satu hal, yaitu mengenai tujuan hidup gua, sebagai manusia, sebagai seorang yang percaya, dan berkepercayaan.

Dalam kepercayaan yang gua percayai saat ini, tujuan hidup di dunia ini adalah mempersiapkan sebuah kehidupan yang abadi, yang nantinya seluruh manusia akan jalani seselesainya hidup ini. Sederhananya, tujuan hidup di dunia ini, ya adalah masuk surga. Walaupun mungkin terdengar sederhana, tapi jika dirunut lagi sampai ke akarnya, perkara masuk surga ini tidak sesederhana itu. Dalam pemahaman gua saat ini yang sedikit realistis, surga itu bagaikan sebuah standar baiknya seorang manusia sehingga jika tujuan hidup ini adalah masuk surga, maka manusia selama hidupnya harus menjadikan dirinya seorang manusia yang baik, sesuai dengan standar tersebut. Dan gua percaya hal itu gak sederhana. Standarnya banyak, dan terkadang agak sulit buat diselaraskan dengan rutinitas kehidupan modern. Jadi kalau boleh gua katakan sekali lagi, tujuan sebenarnya manusia hidup, tujuan sebenarnya gua hidup, adalah untuk memantaskan dirinya, diri gua, untuk menjadi seorang penghuni surga.

Di titik muara itu, pikiran gua kemudian melayang ke kehidupan gua selama beberapa minggu terakhir. Pikiran gua dipenuhi dengan semua rencana gua untuk meningkatkan performa gua di semester ini, demi menutup peforma gua yang jeblok di semester lalu. Jebloknya performa gua di semester lalu disebabkan karena kehidupan gua saat itu tidak bervisi. Gua datang kuliah setiap hari, mengerjakan tugas, kuis, dan ujian-ujian, ya karena memang sudah menjadi kewajiban dan obligasi gua terhadap orang tua. Parah banget memang, dan hal itu sudah berlangsung dari dua sampai tiga semester yang lalu. Kehidupan gua sekarang sudah lebih bervisi. Gua sudah tau target indeks prestasi yang harus gua capai demi menaikkan kualitas kuliah gua, dan beberapa alternatif strategi yang dapat gua gunakan untuk mencapai visi gua tersebut. Sampai sebelum siang itu, gua merasa optimis terhadap perubahan hidup gua yang kini bervisi. Sebelum akhirnya satu pikiran random itu datang, dan kemudian optimisme gua hancur bagaikan istana pasir terkena ombak. Hancur tak berbentuk.

Pikiran gua kemudian melayang ke visi gua yang lebih jauh. Tentang apa yang gua inginkan gua punyai di empat sampai lima tahun mendatang, dan semuanya materialistis. Semua berkisar di uang. Di titik ini, untuk beberapa saat, gua merasa rendah. Gua merasa visi gua itu hina sekali dibandingkan tujuan hidup kita sebagai manusia. Tapi, itu cuma berlaku beberapa saat. Karena setelah gua pikir lagi, ga ada salahnya loh punya keinginan. Dan ga ada salahnya hidup hari ini demi mengejar keinginan itu, selama caranya benar. Dan gua rasa, mungkin yang selama ini jadi salah adalah karena gua terlalu sibuk mengejar keinginan-keinginan gua itu, sampai lupa tujuan sebenarnya gua hidup. Di situlah gua sadar bahwa ga ada yang salah dengan visi-visi gua itu, baik yang dekat maupun yang jauh. Yang salah adalah tidak adanya aspek ke-Tuhanan di dalamnya. Bahwa kita hidup sehari-hari bukan hanya untuk mencapai apapun yang kita inginkan di masa depan hidup kita, tapi juga untuk mencari ridho-Nya. Untuk menjadi manusia baik, dan berbuat baik,

Siang itu di hari Jumat, gua belajar untuk mengingat kembali tujuan hidup gua, bahwa akan masih ada dua kehidupan yang akan gua lewati, yang satu sama lainnya berjalan dalam satu jalan dan menuju ke arah yang sama.

05/01/2016

Indahnya Tahun Baru

Halo 2016! Sampah sekali ya blogger yang satu ini, kerjaannya cuma update di setiap awal tahun. Maaf. Ga berani janji tahun ini bakalan jadi ga sampah, tapi seenggaknya here I am, in front of my laptop, trying my best to write a meaningful and serious yet casual story just because I miss blogging so damn much.

Pada tulisan ini, gua akan membahas mengenai tahun baru, perayaannya, dan bagaimana gua menanggapinya.

Akhir tahun 2015 kemarin, tanggal 31, yang kebetulan jatuh di hari Kamis, gua sedang bersama teman-teman nongkrong di salah satu choir yang sedang gua ikuti saat ini. Kami ngobrol dan hangout sampai sekitar jam setengah sepuluh, lalu memutuskan untuk pulang karena 1) sudah malam takut dicariin mama, dan 2) salah satu dari kami harus pulang karena harus ibadah sama keluarganya. Pulanglah gua bersama motor gua yang kini usianya sudah menginjak tahun ke-lima-nya tapi alhamdulillah masih bisa jalan. Di jalan pulang, men suasanya semarak banget. Jalanan gak macet, belum mungkin, tapi ramainya buset hampir di setiap sudut jalan dan perempatan masuk gang. Bahkan di jalan masuk ke perumahan gua pun ramai parah sampai motor aja susah buat lewat gara-gara salon yang memang sudah berdiri di situ semejak gua lahir itu bikin panggung buat dangdutan.

But, I'm not complaining. Gua justru seneng ngeliatnya.

Bukan karena gua suka dangdut, bukan, tapi karena ramai dan semarak yang dibawa oleh fenomena tahun baru ke dunia kita ini. Gua baru aja searching di internet soal tahun baru dan men there's a lot of people cursing it, terutama jika dikait-kaitkan dengan agama yang saat ini gua yakini. Tapi buat gua, perayaan tahun baru ini bukan suatu bentuk mengikuti orang-orang barat yang memang berbeda keyakinan dengan kita, tapi lebih ke bentuk perayaan sekaligus suatu titik untuk memulai lembaran baru. Ibaratnya suatu titik dimana kita bisa mulai lagi dari awal.

Jadi indahnya tahun baru buat gua, adalah semarak dan ramai yang dibawanya. Lebih indahnya lagi, dia jadi tempat untuk istilahnya start fresh, membuat janji-janji dan mimpi-mimpi baru. Karena memang terkadang, yang kita perlu cuma a brand new start. Itu indahnya tahun baru buat gua.

20/01/2015

Hello, 2015!

So, it's 2015 already, huh? It has been a year since the last time I posted on this blog, so if there were a blogger award, I would be the worst blogger ever. Or even if I would not, it probably because my existence as blogger was questioned.

But I don't want that, so here I am. I am going to start rebuilding my existence as a blogger with sharing a few of my 2015 resolution that I think are less embarrassing and most important. So, here they are.

  1. read 50 books
  2. watch 100 movies
  3. make review of the best movies of every twenty five
  4. travel more
  5. live in the moment
  6. be religious
  7. be spontaneous
  8. get advanced in guitar
  9. write more
  10. be smart
  11. have a good hygiene
  12. be serious academically
  13. participate more often
  14. have a journal
  15. have a timeline
  16. stick to timeline
  17. have a monthly target
  18. be kind
  19. be generous
  20. be nice to others
  21. be nicest to parents
  22. be indipendent
  23. be happy
  24. smile more
  25. make more jokes

And, that was it :)


08/01/2014

What Happened, Recently

So, it's 2014, already? Happy new year, then.

I want to start this year off with an apologize to you, Blog. I'm sorry for not updating you for such a long time. I'm sorry, I really am. The past six months for me have been very... wow I can't even find a word to describe it. It's been very hard, very tiring, stressful, but also very amazing. Well, this picture under, I think, sums it all up about how I feel and what I've been for the past six months.


Three months earlier before whatever finally happened like you see on the picture above, I was just a grateful kid, who just finally graduated high school and got into a hopefully right faculty on the right university. His mind is full of things like, What the heck? I graduated already? So things just went like usual, but on one night, one offer changed it all.

I don't remember the exact date of the "night", but I remember it was on September. Before telling you about the "night", I want to explain you something. There is a lot of extraculliculer activities here on the university I am attending and of all them, there are two extraculliculer activities that I got interested the most, choir and marching band. So, I signed up and got in to those. Nah, this night is one of the night at the regular practice of the marching band that I attended. 

The regular practice went regularly at first, but then I was taken out of the line of the new member of the marching band they usually call Cadets. It was this man, we called him Beto, who took me out of the line and asked to have a little conversation with me that night. I was a little confused, but then agreed anyway. And after that, the conversation went from asking what I wanted to play, and went to finally asked me to join the "main team" for the Grand Prix Marching Band, an annual marching band competition held in Jakarta, which that year would be held on December 27th to 29th. I pictured a lot of good things I would got if I agreed to the offer, like prestige, thropy, a victory, and got tempted of those things. And because of that, I agreed to the offer and joined the "main team".

Four months before the D-day, "God, I can't stand it!"
That first month was very stressing and tiring. I was weak, physically, and I got into something really physical. So, in that first month, I got sick a lot. I worried my parents a lot. My body aches in a lot of place. I was so tired everyday that I couldn't focus on most of the class at campus. I got a lot of assignments from the lecturer and also from the senior, but when I got home I was just too tired to do anything so I just fell asleep. All of that just increased my stress level that month. I really couldn't stand it and really wanted to quit. But I didn't.

Three months before the D-day, I finally decided to go on just to fulfill my duties.
The next month was actually the same, but with different mental condition. Physically, I was still weak, well probably I am. So, I still got sick a lot. My parents were on Mecca so I didn't worry them a lot. My body still ached at a lot of place. But I seemed to manage my stress level better that month. So, if I was not that physically strong for this, why didn't I decide to quit? Well, I almost did. I even talked to the man who took me out of the line at the beginning of the first month but I just couldn't find a good reason to, and most of all, I just couldn't dissapoint people. So I decided to keep going, but not wholeheartedly. Every day in every practice, I cursed the time for running very slowly, that I really wanted to get over this as fast as possible. Practices passed by without giving me any feeling but the tiredness and aches all over my body. I got nothing. So, these month, I deeply regretted my decision not to quit the previous month. However, I do not regret it now, in the point of fact, I feel grateful

Seven days before the D-day, I talked to myself "Come on, you've been this far, just give your best of it. Just give it all out."
And I did. I gave it all. But what scared me the most, was what they call Final Training Center, ten days, away from home. I was hard, for me because I am a home-based kid. I never went away from home that long. However, like I said before, I gave it all out. The first day of the training center was not that bad.  With every day and every practice that week, I started to feel something. I felt the love, and the passions, really big on the field. I thought to myself that time might go very fast that week. And it did. The time, finally got me to the D-1. That day, we're having a little motivation from one great man we called Kak Ronald, and there was moment at the time where every member of the team went randomly through the room and hugged each other. Almost everybody cried, well I didn't. I looked around and I thought, these people had worked their best for the past four months and they finally got there. I felt like a jerk at that moment. I mean, who I was to ruin this great team. So I prayed, "God, give us the victory. If it was not for me, then for them." And then after that, I cried.

The next three days were the D-days, and it went as fast as anything could ever be. The D-day started with this thing we called The Parking Lot, where we warmed up and fullband-ed on the parking lot outside the Istora buiding, with everbody, from our friends, our family, and even strangers, stopping by and watching. The next thing was dressing up, "apel"-something like rollcall, line up, and finally performed inside the Istora. The performance was twelve minutes, and it felt very fast. The after-show at the first day we perfomed was very amazing. Everybody cheered, and happy. Smile and laugh was everywhere. It was fun, I thought. On Sunday, however, the after-show was not that cheerful, but just as happy. Laugh was lesser but the smile was still there. It was really full of emotion. There was a different sincerity than what I felt on the first after-show. Everybody shared the same feeling. Happy, because finally it all ended amazingly, and also sad because it all ended. Everybody cried at the moment, including me.

So, in the end, I got all the things I pictured at the night the man who took me out of the line offered me to play on the "main team". I got the prestige. I mean, a freshman who has brought a trophy to the university? That's the prestige. I got the victory, and also the trophy. But what I didn't think I would got was this family. In this very end I want to say thank you. Thank you to Beto, for taking me out of the line, for keeping me from quitting. I'm glad, and I'm grateful that you did. Thank you also for Madahbahana UI, low-brass especially, for giving such an amazing experience, for being my friends, for the love, and for the trophies. And I think I also owe you a huge and deep apology, for not giving me my best from the beginning. I'm sorry

I'm sorry also for all of my friends outside the marching band for being very ignorant the past four months, or maybe the whole last year (hehe). I couldn't even reply to all of the birthday wishes I got on twitter. I'm sorry, and thank you also for the wishes. 

However, this is a new year anyway, so Happy New Year! Hope you got an amazing year this year. And the last apology. I am sorry, for being very amazing. hahahahaha no, I was kidding. Well..., I'm not :)

06/08/2013

I want and in fact, I yearn to be healed.

I want to quote  or much properly to be called, repost a writing, originally written by Alanda Kariza on her blog, because it feels like right advise of what I feel recently.

That just happened
by Alanda Kariza

We grew up. Yes, that just happened.

Every single thing in life that happens so slowly, yet so constantly, never fail to brag to us on how we would never, ever notice that it had happened. Growing up. Finishing school. Falling in love. Losing a friend. Learning how to drive. Writing papers. Obtaining lessons from life. Then, we might go: what the hell? I’ve finished school already? 

Sometimes, we might want to ask why, why did time betray us? But then, where have we been all this time – when life was happening in our life? Yet, we will try to go back to words, pictures, conversations, memories… to relive what happened, to relive what we thought we have never experienced. But we have. Though we might forget to realise it.

You know what comes up next? The thought of realising that sometimes, words delude us. Nah, often times than not, they do. So do pictures. Memories. Conversations. Trying to encourage us to live in the past. To go back to school again, learn to drive again. To grow up once again.

Better yet. Most of us want to fall for its beauty. We want – in fact, we yearn to be deluded. But, would you? Would you sacrifice your real present to be deluded with what you thought was so good you would never ever experience again?

I probably wouldn’t.

I wouldn't, either.

But let me add a few thoughts of mine. I agree that sometimes, we want to delude ourselves because our real present is not as good as we expect. My thought is that it is not good to drown in that delusion of our past. But please, do remember also that past, in pictures, memories, or conversations, actually was not meant to delude, but to heal. Its beauty in memories, with every detail just like the smell, the feel, the people around, the conversation or the interaction with them, is so powerful that it can really heal, in the present. So, just the same as every other thing in life, our past will be good if it used in the right way. Leave the delusion part, and just fall for its beauty.

So yes indeed, I really want to fall for its beauty, that is so beautiful it makes you want to cry. I want and, in fact, i yearn to be healed.


special credits to:
Alanda Kariza
on http://alandakariza.com/that-just-happened/

12/03/2013

Soundtrack Of The Day


To Build A Home
by The Cinematic Orchestra

There is a house built out of stone
Wooden floors, walls and window sills
Tables and chairs worn by all of the dust
This is a place where I don't feel alone
This is a place where I feel at home
And I built a home
For you
For me
Until it disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust
(Instrumental)
Out in the garden where we planted the seeds
There is a tree that's old as me
Branches were sewn by the colour of green
Ground had arose and passed its knees
By the cracks of the skin I climbed to the top
I climbed the tree to see the world
When the gusts came around to blow me down
I held on as tightly as you held onto me
I held on as tightly as you held onto me
And I built a home
For you
For me
Until it disappeared
From me
From you
And now, it's time to leave and turn to dust

An artwork like this, that's made with and by the heart, very beautifully touching, and very emotional, is hard to find, nowadays (thanks to Step Up Revolution for introducing me and the world to this song). The music is beautiful, and the lyrics are breathtaking. Two thumbs up!

"This song makes me feel happy to be sad"
                 -someone on youtube (beth0k)

11/01/2013

A Simple Way To Start A Year

Ada banyak cara untuk menyambut tahun yang baru. Jalan-jalan? Kumpul-kumpul? Nonton film? Buku? Lagu? Cara saya jauh lebih sederhana. Saya ingin mengawali tahun ini dengan sebuah puisi. 


Jembatan Usia
karya: Dewi "Dee" Lestari

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segala. 
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah.
Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? 
Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik? 
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. 
Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. 
Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi. 
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. 
Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. 
Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu. 
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? 
Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. 
Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. 
Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani. 
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri
Karya Dee selalu membuat saya kagum. Tapi yang satu ini benar-benar pas. Terkadang, ada beberapa pikiran dan pendapat yang muncul secara acak di otak. Dan seringkali, karya-karya manusia lain seperti film, lagu, atau puisi bisa membantu kita menyusun pikiran-pikiran acak tersebut. Untuk pikiran-pikiran acak saya sekarang, sekali lagi yang satu ini benar-benar pas.

Sebagai orang yang cuma punya enam bulan sisa masa SMA, kemana-mana rasanya galau. Coba mikir ke depan, galau kuliah dan UN; coba mikir tentang angkatan dan SMANSA, galau udah mau pisah; ujung-ujungnya bakal galau mikirin masa lalu. Ini untuk pertama kalinya tiga tahun sekolah bisa meninggalkan banyak banget rasa dan kenangan. Tapi, pikiran mengenai ini cuma bener-bener random, yang sebenernya justru bukan tentang galau, tapi tentang intropeksi.

Kita tumbuh, dan seiring dengan itu, kita lebih mengenal dunia. Dari pengalaman mengenai itu, saya bisa menyimpulkan bahwa adalah sifat alami manusia untuk menjadi lebih sombong seiring dengan semakin banyaknya ia mengenal dunia. Di SMA, saya dan mungkin juga berjuta-juta orang lain berada pada puncak kesombongan. Pada sebagian orang, puncak ini mungkin hanyalah puncak kecil di perjalanannya menuju puncak tertinggi. Bagi sebagian lainnya, puncak ini hanyalah satu-satunya puncak yang pernah ia daki, hanya sebagai pengalaman agar tidak lagi mendaki puncak salah yang sama .Saya sedang berada di puncak itu, dan sangat ingin turun.

Layaknya pohon tinggi yang telah bisa melihat segalanya dari atas, saya pun merasa telah bisa melihat seluruh dunia. Dalam pandangan saya, apa yang dibincangkan dan ditertawakan oleh anak-anak bercelana biru dan merah itu tidaklah penting. Karena saya telah melihat lapisan yang lebih atas yang menurut saya lebih penting. Saya merasa telah begitu mengerti dunia, tapi layaknya sebuah pohon tinggi yang tidak lagi mengenal semut serdadu dan bola kaca dari langit, saya tidak lagi paham yang mereka tertawa dan bincangkan. Jadi, berpikir telah memahami segalanya seperti itu, tidaklah bijak bukan?

Jadi sesederhana itu sebuah pikiran yang mungkin gak lebih dari satu menit bisa berubah menjadi sebegitu rumit. Bukan tentang galau, teman, tapi intropeksi: tidak ada lagi sombong karena sudah senior, dan tidak ada lagi sombong karena sudah jadi anak SMA. Dan berkaitan dengan itu, yang saya rasakan adalah rindu. Rindu klasik anak kecil yang beranjak dewasa, rindu pulang dengan matahari benar-benar di atas kepala dengan celana biru, atau polos bermain dengan celana merah, atau rindu dunia yang cuma sesederhana puzzle, ayunan, dan jungkat-jungkit. Semakin jauh melihat balik, yang saya lihat adalah dunia yang semakin polos. Dan sejujurnya, sekarang dunia sedang butuh orang-orang yang jujur, kan? ya itu orang-orang polos.

Sederhana. Sesederhana itu sebuah puisi bisa membawa manusia tenggelam dalam pikirannya. Sesederhana itu sebuah puisi memicu manusia untuk mengintropeksi. Sesederhana itu puisi membuat manusia rindu. Ya, sesederhana semut serdadu yang bagaikan kereta raksasa dan setetes embun yang seolah bola kaca dari surga.

08/11/2012

Huge Introspection:

Beberapa waktu setelah Ujian Tengah Semester kemaren, gue sempet galau dan nulis-nulis ngasal yang ujung2nya berakhir di draft. Niatnya bener-bener mau di publish, tapi gua urungkan. Dan sekarang, setelah agak lama, gua akhirnya memutuskan untuk publish postingan ini. Inilah tulisan galau gua (yang tentunya udah mengalami sedikit edit sana sini).

Ada momen-momen dalam hidup, yang sering kali mencerahkan. Momen-momen ini datang seketika, dan sekejap, seperti angin sejuk yang berhembus di padang pasir yang gersang, sesaat tapi menyejukkan; atau seperti coklat hangat di tengah musim dingin, yang sejenak menghangatkan. Momen-momen ini, seperti yang dibilang oleh Andrea Hirata dalam Edensor, adalah relatif. Momen-momen yang sama bisa datang ke semua orang, tapi seberapa besar momen itu berpengaruh, relatif berbeda satu sama lain. Setiap orang bisa mendapatkan banyak momen, namun tak juga kunjung tercerahkan. Namun bagi yang beruntung, momen singkat bisa amat mencerahkan seperti mutiara. Jika di dalam Edensor, Andrea mengatakan bahwa mutiara dalam hidupnya ada bersama Weh, maka mutiara dalam hidup gue ada bersama air, yang mengalir tepat dari ujung rambut sampai ke kaki. Jadi, momen-momen yang mencerahkan bisa datang ke siapa aja, dengan cara apa aja, dan dimana aja, termasuk, di dalam kasus gue, ada di bawah pancuran.

To make it clear, simaklah sebuah kicauan dari @9GAG yang gue retweet beberapa waktu yang lalu:
Taking 30 minutes to shower, because you like to stand there, under the hot water, just thinking about life.
Jadi pada momen di bawah pancuran hari ini, yang nyatanya gak lebih dari 15 menit, gue melakukan introspeksi besar-besaran. Apa, mengapa, dan berbagai pertanyaan lainnya yang mungkin akan muncul di pikiran kalian lah, yang akan menjadi topik utama dalam postingan kali ini.

Kenapa sekarang, dan kenapa di bawah pancuran?
Gue mengalami minggu yang padat, dan penuh dengan stres. Stres ini datang secara tiba-tiba dan intens. Akhirnya, gue melarikan diri untuk mencari kesenangan, atau lebih frontalnya, hura-hura. Lima hari terakhir, gue mencari-cari kesempatan untuk berhura-hura ria setiap harinya, bersama orang-orang yang berbeda. Alhasil, gua menghamburkan begitu banyak uang untuk kehura-huraan ini, dan yang membuatnya terlihat tambah menyedihkan, bukan uang gue sendiri, melainkan didapatkan dari orangtua. Ini membawa perubahan besar yang amat mencolok pada diri gue, dan memicu banyak reaksi di teman-teman gue. Lo banyak berubah, ya Bim. Sekarang sering banget hedon. Gila, berapa banyak uang yang lo hambur-hamburin minggu ini. Reaksi-reaksi ini kemudian berubah menjadi pikiran, dan pikiran-pikiran ini terus berputar-putar menghantui gue sepanjang perjalanan pulang gue hari ini. Ketika gue sampai di rumah, kemudian memutuskan untuk mandi, maka semuanya pecah. Semua pikiran itu meledak dan keluar seiring dengan air yang mengalir. Itulah alasanya kenapa sekarang, dan kalau ditanya kenapa di bawah pancuran, ya karena waktu-waktu di bawah pancuran adalah waktu-waktu dimana kalian ga dituntut untuk berfikir tentang apapun kecuali tentang hidup kalian sendiri.

Trus, apa sih masalah sebenarnya?
Masalah utamanya, sebenernya bukan pada perilaku hedonisnya itu sendiri. Kalo boleh jujur, gue gak begitu menentang dan mengharuskan apa yang dibilang orang sebagai perilaku hedonisme (sebenernya bukan hedonsime sih, tapi lebih ke hura-hura) ini untuk dihilangkan total dari kehidupan sehari-hari. Masalah utamanya adalah gue takut, bahwa hedonisme minggu ini, yang membuat gue mengeluarkan begitu banyak uang, gak sebanding dengan produktivitas gue. Berhubung dua minggu ini gue sedang menjalani Ujian Tengah Semester, maka produktivitasnya dilihat dari nilai-nilai ujian gue. Produktivitasnya masih bener-bener abstrak, dan probabilitasnya masing sangat banyak. Dan probabilitas terendah yang mungkin akan gua dapatkan adalah produktivitas yang rendah (amit-amit). Ketika gue berfikir tentang uang, kemudian kepada produktivitas itu sendiri, yang terbayang pertama kali adalah wajah orang tua gue. Produktivitas rendah namun pengeluaran tinggi bisa menjadi sumber kekecewaan yang utama, dan membayangkan wajah orang tua gue penuh dengan kekecewaan adalah hal terburuk yang bisa gue dapatkan. Di momen inilah, akhirnya gue membiarkan air mata gue mengalir bersama dengan air dari pancuran.

Jadi, apa selanjutnya?
Langkah ke depannya, adalah berdo'a supaya produktivitas gue dalam UTS ini, bisa sebanding dengan pengeluaran seminggu kemarin (plis, saling mendoakan), dan juga sedikit kontrol diri dalam masalah keuangan.

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari intropeksi besar-besaran ini. Yang pertama, remaja memang bener-bener labil. Gue udah berusaha mencanangkan prinsip-prinsip agar kehidupan gue berjalan dengan baik, namun terbukti, gue hanya terbawa arus pikiran seminggu kemarin seperti orang tak berprinsip. Yang kedua, hura-hura itu seperti obat. Dalam jumlah sedikit ia mengobati, dalam jumlah (terlalu) besar ia membunuh.

13/10/2012

Found An Epicness Inside The Stream: FUN



Some nights I stay up cashing in my bad luck 
Some nights I call it a draw 
Some nights I wish that my lips could build a castle
Some nights I wish they'd just fall off 
 But I still wake up, I still see your ghost 
Oh, Lord, I'm still not sure what I stand for oh 
What do I stand for? What do I stand for? 
Most nights I don't know anymore... 
This is it, boys, this is war - what are we waiting for? 
Why don't we break the rules already? 
I was never one to believe the hype 
Save that for the black and white 
I try twice as hard and I'm half as liked,
But here they come again to jack my style 
That's alright; I found a martyr in my bed tonight 
She stops my bones from wondering just who I am, who I am, who I am Oh, who am I?
Well, some nights I wish that this all would end 
'Cause I could use some friends for a change.
And some nights I'm scared you'll forget me again 
Some nights I always win, I always win... 
 But I still wake up, I still see your ghost 
Oh, Lord, I'm still not sure what I stand for, oh 
What do I stand for? What do I stand for? 
Most nights I don't know... 
(oh, come on) So this is it. I sold my soul for this? 
Washed my hands of that for this? 
I miss my mom and dad for this? 
 (Come on) No. When I see stars, when I see, when I see stars, that's all they are 
When I hear songs, they sound like this one, so come on. 
Oh, come on. Oh, come on. Oh, come on! 
Well, that is it guys, that is all - five minutes in and I'm bored again 
Ten years of this, I'm not sure if anybody understands 
This one is not for the folks at home;
Sorry to leave, mom, I had to go 
Who the fuck wants to die alone all dried up in the desert sun? 
 My heart is breaking for my sister and the con that she called "love" 
When I look into my nephew's eyes... 
Man, you wouldn't believe the most amazing things that can come from... 
Some terrible lies... 
The other night you wouldn't believe the dream I just had about you and me 
I called you up but we'd both agree 
It's for the best you didn't listen It's for the best we keep our distance... 
It's for the best we didn't listen It's for the best we keep our distance...