08/11/2012

Huge Introspection:

Beberapa waktu setelah Ujian Tengah Semester kemaren, gue sempet galau dan nulis-nulis ngasal yang ujung2nya berakhir di draft. Niatnya bener-bener mau di publish, tapi gua urungkan. Dan sekarang, setelah agak lama, gua akhirnya memutuskan untuk publish postingan ini. Inilah tulisan galau gua (yang tentunya udah mengalami sedikit edit sana sini).

Ada momen-momen dalam hidup, yang sering kali mencerahkan. Momen-momen ini datang seketika, dan sekejap, seperti angin sejuk yang berhembus di padang pasir yang gersang, sesaat tapi menyejukkan; atau seperti coklat hangat di tengah musim dingin, yang sejenak menghangatkan. Momen-momen ini, seperti yang dibilang oleh Andrea Hirata dalam Edensor, adalah relatif. Momen-momen yang sama bisa datang ke semua orang, tapi seberapa besar momen itu berpengaruh, relatif berbeda satu sama lain. Setiap orang bisa mendapatkan banyak momen, namun tak juga kunjung tercerahkan. Namun bagi yang beruntung, momen singkat bisa amat mencerahkan seperti mutiara. Jika di dalam Edensor, Andrea mengatakan bahwa mutiara dalam hidupnya ada bersama Weh, maka mutiara dalam hidup gue ada bersama air, yang mengalir tepat dari ujung rambut sampai ke kaki. Jadi, momen-momen yang mencerahkan bisa datang ke siapa aja, dengan cara apa aja, dan dimana aja, termasuk, di dalam kasus gue, ada di bawah pancuran.

To make it clear, simaklah sebuah kicauan dari @9GAG yang gue retweet beberapa waktu yang lalu:
Taking 30 minutes to shower, because you like to stand there, under the hot water, just thinking about life.
Jadi pada momen di bawah pancuran hari ini, yang nyatanya gak lebih dari 15 menit, gue melakukan introspeksi besar-besaran. Apa, mengapa, dan berbagai pertanyaan lainnya yang mungkin akan muncul di pikiran kalian lah, yang akan menjadi topik utama dalam postingan kali ini.

Kenapa sekarang, dan kenapa di bawah pancuran?
Gue mengalami minggu yang padat, dan penuh dengan stres. Stres ini datang secara tiba-tiba dan intens. Akhirnya, gue melarikan diri untuk mencari kesenangan, atau lebih frontalnya, hura-hura. Lima hari terakhir, gue mencari-cari kesempatan untuk berhura-hura ria setiap harinya, bersama orang-orang yang berbeda. Alhasil, gua menghamburkan begitu banyak uang untuk kehura-huraan ini, dan yang membuatnya terlihat tambah menyedihkan, bukan uang gue sendiri, melainkan didapatkan dari orangtua. Ini membawa perubahan besar yang amat mencolok pada diri gue, dan memicu banyak reaksi di teman-teman gue. Lo banyak berubah, ya Bim. Sekarang sering banget hedon. Gila, berapa banyak uang yang lo hambur-hamburin minggu ini. Reaksi-reaksi ini kemudian berubah menjadi pikiran, dan pikiran-pikiran ini terus berputar-putar menghantui gue sepanjang perjalanan pulang gue hari ini. Ketika gue sampai di rumah, kemudian memutuskan untuk mandi, maka semuanya pecah. Semua pikiran itu meledak dan keluar seiring dengan air yang mengalir. Itulah alasanya kenapa sekarang, dan kalau ditanya kenapa di bawah pancuran, ya karena waktu-waktu di bawah pancuran adalah waktu-waktu dimana kalian ga dituntut untuk berfikir tentang apapun kecuali tentang hidup kalian sendiri.

Trus, apa sih masalah sebenarnya?
Masalah utamanya, sebenernya bukan pada perilaku hedonisnya itu sendiri. Kalo boleh jujur, gue gak begitu menentang dan mengharuskan apa yang dibilang orang sebagai perilaku hedonisme (sebenernya bukan hedonsime sih, tapi lebih ke hura-hura) ini untuk dihilangkan total dari kehidupan sehari-hari. Masalah utamanya adalah gue takut, bahwa hedonisme minggu ini, yang membuat gue mengeluarkan begitu banyak uang, gak sebanding dengan produktivitas gue. Berhubung dua minggu ini gue sedang menjalani Ujian Tengah Semester, maka produktivitasnya dilihat dari nilai-nilai ujian gue. Produktivitasnya masih bener-bener abstrak, dan probabilitasnya masing sangat banyak. Dan probabilitas terendah yang mungkin akan gua dapatkan adalah produktivitas yang rendah (amit-amit). Ketika gue berfikir tentang uang, kemudian kepada produktivitas itu sendiri, yang terbayang pertama kali adalah wajah orang tua gue. Produktivitas rendah namun pengeluaran tinggi bisa menjadi sumber kekecewaan yang utama, dan membayangkan wajah orang tua gue penuh dengan kekecewaan adalah hal terburuk yang bisa gue dapatkan. Di momen inilah, akhirnya gue membiarkan air mata gue mengalir bersama dengan air dari pancuran.

Jadi, apa selanjutnya?
Langkah ke depannya, adalah berdo'a supaya produktivitas gue dalam UTS ini, bisa sebanding dengan pengeluaran seminggu kemarin (plis, saling mendoakan), dan juga sedikit kontrol diri dalam masalah keuangan.

Ada beberapa kesimpulan yang bisa ditarik dari intropeksi besar-besaran ini. Yang pertama, remaja memang bener-bener labil. Gue udah berusaha mencanangkan prinsip-prinsip agar kehidupan gue berjalan dengan baik, namun terbukti, gue hanya terbawa arus pikiran seminggu kemarin seperti orang tak berprinsip. Yang kedua, hura-hura itu seperti obat. Dalam jumlah sedikit ia mengobati, dalam jumlah (terlalu) besar ia membunuh.