11/01/2013

A Simple Way To Start A Year

Ada banyak cara untuk menyambut tahun yang baru. Jalan-jalan? Kumpul-kumpul? Nonton film? Buku? Lagu? Cara saya jauh lebih sederhana. Saya ingin mengawali tahun ini dengan sebuah puisi. 


Jembatan Usia
karya: Dewi "Dee" Lestari

Bertambahnya usia bukan berarti kita paham segala. 
Pohon besar tumbuh mendekati langit dan menjauhi tanah.
Namun masih ingatkah ia dengan sepetak tanah mungil waktu masih kerdil dulu? 
Masih pahamkah ia akan semesta kecil ketika semut serdadu bagaikan kereta raksasa dan setetes embun seolah bola kaca dari surga, tatkala ia tak peduli akan pola awan di langit dan tak kenal tiang listrik? 
Waktu kecil dulu, kupu-kupu masih sering hinggap di pucuknya. 
Kini burung besar bahkan bersangkar di ketiaknya, kawanan kelelawar menggantungi buahnya. 
Namun jangan sekali-kali ia merendahkan kupu-kupu yang hanya menggeliat di tapaknya, karena mendengar bahasanya pun ia tak mampu lagi. 
Setiap jenjang memiliki dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. 
Tak bisa kembali ke kacamata yang sama bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. 
Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu. 
Dapatkah kita kembali mengerti apa yang ditertawakan bocah kecil atau yang digejolakkan anak belasan tahun seiring dengan kecepatan zaman yang melesat meninggalkan? 
Karena kita tumbuh ke atas tapi masih dalam petak yang sama. 
Akar kita tumbuh ke dalam dan tak bisa terlalu jauh ke samping. 
Selalu tercipta kutub-kutub pemahaman yang tak akan bertemu kalau tidak dijembatani. 
Jembatan yang rendah hati, bukan kesombongan diri
Karya Dee selalu membuat saya kagum. Tapi yang satu ini benar-benar pas. Terkadang, ada beberapa pikiran dan pendapat yang muncul secara acak di otak. Dan seringkali, karya-karya manusia lain seperti film, lagu, atau puisi bisa membantu kita menyusun pikiran-pikiran acak tersebut. Untuk pikiran-pikiran acak saya sekarang, sekali lagi yang satu ini benar-benar pas.

Sebagai orang yang cuma punya enam bulan sisa masa SMA, kemana-mana rasanya galau. Coba mikir ke depan, galau kuliah dan UN; coba mikir tentang angkatan dan SMANSA, galau udah mau pisah; ujung-ujungnya bakal galau mikirin masa lalu. Ini untuk pertama kalinya tiga tahun sekolah bisa meninggalkan banyak banget rasa dan kenangan. Tapi, pikiran mengenai ini cuma bener-bener random, yang sebenernya justru bukan tentang galau, tapi tentang intropeksi.

Kita tumbuh, dan seiring dengan itu, kita lebih mengenal dunia. Dari pengalaman mengenai itu, saya bisa menyimpulkan bahwa adalah sifat alami manusia untuk menjadi lebih sombong seiring dengan semakin banyaknya ia mengenal dunia. Di SMA, saya dan mungkin juga berjuta-juta orang lain berada pada puncak kesombongan. Pada sebagian orang, puncak ini mungkin hanyalah puncak kecil di perjalanannya menuju puncak tertinggi. Bagi sebagian lainnya, puncak ini hanyalah satu-satunya puncak yang pernah ia daki, hanya sebagai pengalaman agar tidak lagi mendaki puncak salah yang sama .Saya sedang berada di puncak itu, dan sangat ingin turun.

Layaknya pohon tinggi yang telah bisa melihat segalanya dari atas, saya pun merasa telah bisa melihat seluruh dunia. Dalam pandangan saya, apa yang dibincangkan dan ditertawakan oleh anak-anak bercelana biru dan merah itu tidaklah penting. Karena saya telah melihat lapisan yang lebih atas yang menurut saya lebih penting. Saya merasa telah begitu mengerti dunia, tapi layaknya sebuah pohon tinggi yang tidak lagi mengenal semut serdadu dan bola kaca dari langit, saya tidak lagi paham yang mereka tertawa dan bincangkan. Jadi, berpikir telah memahami segalanya seperti itu, tidaklah bijak bukan?

Jadi sesederhana itu sebuah pikiran yang mungkin gak lebih dari satu menit bisa berubah menjadi sebegitu rumit. Bukan tentang galau, teman, tapi intropeksi: tidak ada lagi sombong karena sudah senior, dan tidak ada lagi sombong karena sudah jadi anak SMA. Dan berkaitan dengan itu, yang saya rasakan adalah rindu. Rindu klasik anak kecil yang beranjak dewasa, rindu pulang dengan matahari benar-benar di atas kepala dengan celana biru, atau polos bermain dengan celana merah, atau rindu dunia yang cuma sesederhana puzzle, ayunan, dan jungkat-jungkit. Semakin jauh melihat balik, yang saya lihat adalah dunia yang semakin polos. Dan sejujurnya, sekarang dunia sedang butuh orang-orang yang jujur, kan? ya itu orang-orang polos.

Sederhana. Sesederhana itu sebuah puisi bisa membawa manusia tenggelam dalam pikirannya. Sesederhana itu sebuah puisi memicu manusia untuk mengintropeksi. Sesederhana itu puisi membuat manusia rindu. Ya, sesederhana semut serdadu yang bagaikan kereta raksasa dan setetes embun yang seolah bola kaca dari surga.